Bismillahirrahmanirrahim...
Poor doctor. Tulisan jelek pun dihina. Haha.
Dulu sebelum kuliah di medschool, aku pernah tanya, karena aku lagi pegang resep yang tulisannya nggak bisa kubaca. Kata *siapa entah* itu biar orang awam nggak bisa baca, cuma farmasis yang bisa baca.
Aku merasakannya kok. Penelitian di RM membuat mataku harus jeli se jeli-jelinya. Jangankan resep, RM IGD pun aku kadang nggak bisa baca, yang notabene mungkin ditulis perawat, dokter jaga, atau mungkin koass jaga. Ada banyak faktor, memang begitu tulisannya, terlalu capek, dan terlalu ngantuk.
Apalagi kalau baca hasil konsulan dari spesialis. Mataku harus berkerut-kerut buat paham apakah itu. Baca resep yang diberikan? Aku hampir ahli untuk baca resep trauma kepala. Karena pasti seputar: brain act, rantin/radin untuk singkatan ranitidin, RL, dan kawan-kawan. Jadi kalau seandainya ada tulisan yang berbentuk ada rntn, insyaAllah itu rantin... hahaha. Mungkin begitulah apoteker membaca tulisan dokter. Aku sendiri belum pernah tanya ke apoteker, bagaimana kiat jitu mereka membaca tulisan itu.
Tapi, di luar negeri, dan sepertinya di RS modern di sini, hal begitu sudah ditinggalkan. Banyak yang sudah menggunakan sistem terkomputerisasi, yang sudah pasti memudahkan dan mempercepat. Pasien diperiksa, dokter menulis resep, lalu dikirim ke bagian obat, pasien sudah dapat mengambil obat, dan pulang.
Di bagian bawah kertas konsulan pun ada tulisan, sebenarnya: TULISLAH DENGAN JELAS *intinya gitu, aku lupa* pokoknya supaya bisa dibaca. Tapi sebagai dokter spesialis, konsuler, dosen, pasti waktu sangat singkat berjalan, ya kan?
Poor doctor. Tulisan jelek pun dihina. Haha.
Dulu sebelum kuliah di medschool, aku pernah tanya, karena aku lagi pegang resep yang tulisannya nggak bisa kubaca. Kata *siapa entah* itu biar orang awam nggak bisa baca, cuma farmasis yang bisa baca.
Aku merasakannya kok. Penelitian di RM membuat mataku harus jeli se jeli-jelinya. Jangankan resep, RM IGD pun aku kadang nggak bisa baca, yang notabene mungkin ditulis perawat, dokter jaga, atau mungkin koass jaga. Ada banyak faktor, memang begitu tulisannya, terlalu capek, dan terlalu ngantuk.
Apalagi kalau baca hasil konsulan dari spesialis. Mataku harus berkerut-kerut buat paham apakah itu. Baca resep yang diberikan? Aku hampir ahli untuk baca resep trauma kepala. Karena pasti seputar: brain act, rantin/radin untuk singkatan ranitidin, RL, dan kawan-kawan. Jadi kalau seandainya ada tulisan yang berbentuk ada rntn, insyaAllah itu rantin... hahaha. Mungkin begitulah apoteker membaca tulisan dokter. Aku sendiri belum pernah tanya ke apoteker, bagaimana kiat jitu mereka membaca tulisan itu.
Tapi, di luar negeri, dan sepertinya di RS modern di sini, hal begitu sudah ditinggalkan. Banyak yang sudah menggunakan sistem terkomputerisasi, yang sudah pasti memudahkan dan mempercepat. Pasien diperiksa, dokter menulis resep, lalu dikirim ke bagian obat, pasien sudah dapat mengambil obat, dan pulang.
Di bagian bawah kertas konsulan pun ada tulisan, sebenarnya: TULISLAH DENGAN JELAS *intinya gitu, aku lupa* pokoknya supaya bisa dibaca. Tapi sebagai dokter spesialis, konsuler, dosen, pasti waktu sangat singkat berjalan, ya kan?
Tapi memang begitu kok, karena ada kemungkinan kesalahan pembacaan resep oleh apoteker dan menjadi fatal bagi pasien. Dokter WAJIB menulis dengan tulisan yang dapat terbaca. Tapi dokter tetap manusia biasa, sebagaimana Rasulullah yang dulu pun tak bisa membaca. Kami berusaha, tapi jangan menyudutkan kami terus. Tulisanku bisa bagus, tapi kalau dalam sehari menulis lebih dari 4 halaman, lama-kelamaan juga penuh singkatan dan bergelombang plus tertiup angin ke sana ke mari. Hahaha.
LOOK DOCTOR's HANDWRITING CARTOONS HERE
LOOK DOCTOR's HANDWRITING CARTOONS HERE